CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Selasa, 05 Januari 2010

Pengelolaan Minyak Blok Cepu Jauh dari Target
Senin, 28 Desember 2009 10:09 WIB | Ekonomi & Bisnis | Bisnis | Dibaca 789 kali
Slamet Agus Sudarmojo
Pengelolaan Minyak Blok Cepu Jauh dari Target
Seorang pekerja mengontrol pekerjaan di lokasi kilang mini minyak blok Cepu di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, Jawa Timur, Rabu (14/10). (ANTARA/Aguk Sudarmojo)
Bojonegoro (ANTARA News) - Pengelolaan migas Blok Cepu, di Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, Jawa TImur, masih saja tersendat, dimana produksi minyak Blok Cepu dengan operator Mobil Cepu Limited (MCL), masih jauh dari harapan.

Pada produksi awal lapangan minyak Banyu Urip di Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, yang semula ditargetkan pada Agustus 2009 sudah bisa berproduksi 20.000 barel per hari, ternyata meleset.

Lapangan tersebut, baru mulai awal produksi 30 Agustus dan diperkirakan Desember 2009 jumlah total produksinya sebesar satu juta barel.

"Kalau dihitung dalam waktu satu tahun sembilan bulan tanah yang dibebaskan operator belum ada 100 hektare, padahal dalam mengelola migas Blok Cepu, tanah yang dibutuhkan sekitar 650 hektare," kata Camat Ngasem, Bambang Waluyo.

Bambang menilai, operator terlalui lambat dalam membebaskan tanah kebutuhan Blok Cepu. Dengan kebutuhan tanah seluas 650 hektare tersebut, yang akan dimanfaatkan keperluan membangun beragai sarana dan prasarana dengan produksi puncak 165.000 barel per hari yang diproyeksikan bisa terealisasi pada tahun 2013.

Sebagaimana diungkapkan Bambang Waluyo, dalam membebaskan tanah di wilayahnya, operator bekerja sendiri. Akibatnya, dalam membebaskan tanah selalu menemui berbagai permasalahan di lapangan karena berbeda pendapat dengan perangkat desa.

Perangkat desa memiliki alasan, tanah yang akan dibebaskan, karena memang masih bermasalah. Karena itu, Bambang menyarankan, operator melibatkan perangkat desa untuk membebaskan tanah.

"Selama ini, kalau ada permasalahan dalam membebaskan tanah yang selalu disalahkan perangkat desa," katanya mengungkapkan.

Bambang mengaku, sudah meminta operator melibatkan perangkat desa dalam pembebasan tanah. Sementara ini, operator beralasan ketentuan yang ada di perusahaan setempat, dalam membebaskan tanah dilarang melibatkan perangkat desa.

"Apa sulitnya merubah aturan, kalau memang ada itikad baik dari operator," ucapnya dengan nada prihatin.

Produksi minyak Blok Cepu dari lapangan Banyu Urip di Desa Mojodelik, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, Jawa Timur, yang diproduksikan sejak 30 Agustus lalu, jumlah total produksinya sudah mencapai satu juta barel.

Produksi minyak Blok Cepu tersebut, dihasilkan dari empat unit sumur di lapangan Banyu Urip, dengan ditunjang dua buah sumur injeksi gas dan air.

Menurut External Relations MCL, Deddy Afidick, Gas Oil Separation Plant (GOSP) di Desa Gayam, Kecamatan Ngasem, yang dikelola PT Exterran, sub kontraktor MCL, sudah mampu memproses minyak 20.000 barel per hari.

Sementara ini, produksi minyak Blok Cepu dari lapangan Banyu Urip sebesar 12.000 barel per hari disalurkan melalui pipa 10 inci menuju lapangan Mudi di Desa Rahayu, Kecamatan Soko, Tuban, yang dikelola Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Petrochina East Java.

Produksi minyak sebesar 1.000 barel per hari, disalurkan di kilang mini yang dikelola Tri Wahana Universal (TWU) di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu. Kilang mini tersebut, sesuai kapasitasnya mampu memproses minyak mentah sebesar 6.000 barel per hari.

Keterangan yang diperoleh ANTARA News dari pejabat di Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, dalam memproses minyak mentah Blok Cepu tersebut, sesuai kesepakatan awal dilakukan bekerja sama dengan pemkab dalam masalah pengangkutan hasil bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan.

Namun, belakangan TWU mengubah kebijakannya dengan alasan dalam mengangkut produksi BBM yang dihasilkan akan dilakukan bekerja sama dengan warga di sekitar kilang mini.

"Kalau kebijakan itu yang diterapkan pemkab sangat mendukung, hanya saja kenyataannya hingga sekarang ini belum direalisasikan," kata sumber di Pemkab Bojonegoro.

Dengan masih belum dilaksanakannya proses kerja sama dalam mengangkut BBM tersebut, kesiapan pengelolaan minyak Blok Cepu menjadi semakin jauh dari target.

Tak terkecuali Bupati Bojonegoro, Suyoto menyatakan, dengan semakin lambatnya pengelolaan produksi minyak Blok Cepu, akan semakin menambah cost recovery yang harus dikeluarkan Pemerintah dalam mengelola migas Blok Cepu.

"Kami mendesak kepada operator untuk memanfaatkan gas yang dihasilkan dari minyak Blok Cepu, dengan demikian bisa menghemat cost recovery," ucap Suyoto.

Masalah
Keberadaan GOSP, produksi awal 20.000 barel per hari tersebut, bukan tanpa masalah. Pada awal Oktober 2009 lalu, sejumlah warga di sekitar EPF, mengalami gejala keracunan pusing-pusing, mual-mual dan muntah, yang berasal dari lokasi EPF.

Menurut koordinator warga setempat, Supolo diperkirakan, warga di empat desa di Kecamatan Ngasem yang pemukimannya berada di dekat EPF ada sekitar 500 kepala keluarga (KK).

"Karena pemukimannya dekat EPF, mereka yang paling rawan kalau terjadi bencana minyak yang muncul dari EPF," papar Supolo.

Akibat mengalami kejadian tersebut, warga menuntut kompensasi langsung atas keberadaan EPF. Karena terjadi perbedaan pendapat dan warga terus melancarkan unjuk rasa di EPF.

Akhirnya disepakati, dibentuk Tim Lima Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang melibatkan berbagai pihak, mulai MCL, Badan Lingkungan Hidup Pemkab Bojonegoro, MCl dan BP Migas.

Ketua Tim Lima DPRD Bojonegoro, Agus Susanto Rismanto menyatakan, menjadwalkan mengundang BP Migas untuk membahas kondisi yang terjadi di kawasan migas Blok Cepu di sekitar lokasi EPF. BP Migas diminta melakukan evaluasi pelaksanaan pengelolaan migas Blok Cepu dengan operator MCL.

"Karena kondisinya menyalahi ketentuan yang ada, kalau perlu proyek migas dihentikan dulu," ujarnya menegaskan.

Investigasi dilakukan di empat titik yakni di Desa Brabowan, Gayam, Ringgintunggal dan Begadon, Kecamatan Ngasem, yang berada di dekat GOSP migas Blok Cepu di wilayah setempat, Rabu (10/12).

Dia menyimpulkan, tingkat pengamanan di sekitar EPF sangat minim yang mengakibatkan warga di sekitar EPF seperti menghadapi situasi yang tidak menentu.

Dia mencontohkan, di sekitar EPF ternyata tidak dilengkapi dengan penunjuk arah angin yang bisa mendeteksi kemungkinan terjadinya kebocoran gas. Disamping itu, persediaan obat-obatan warga di sekitar EPF, tidak ada sama sekali.

Di lain pihak, dalam pengelolaan dana community development (CD) operator, MCL tidak pernah melibatkan warga di kawasan setempat.

"Operator dalam pengelolaan dana CD hanya merangkul pihak tertentu yang dianggap kuat di wilayah setempat, sedangkan masyarakat diabaikan," tuturnya.

Namun, keadaan yang disampaikan Agus Susanto Rismanto tersebut, dibantah Manager PT Exterran, Achmad Prasojo. Ketika menerima kunjungan Bupati Bojonegoro, Suyoto beberapa waktu yang lalu, Achmad Prasojo menatakan, "Yang jelas, pengamanan kami di sini berlapis, untuk mencegah terjadinya kebocoran gas,".

Di antaranya, gas yang muncul tersebut dibakar melalui flare pit yang tingginya mencapai 90 meter, disamping secara teknis membuat pengaman khusus dengan menutup melalui sejumlah penutup.

"Kalau saja di lokasi kami, muncul gas berbahaya yang pertama kali pingsan jelas kami semua yang ada di sini," kata Achmad memberikan gambaran.

Dengan demikian, lanjutnya, adanya protes dari warga di sekitar lokasi GOSP yang mengklaim telah mencium busuk yang diperkirakan dari lokasi GOSP, seharusnya yang menjadi korban pertama yakni seluruh karyawan yang ada di GOSP.

Menjawab pertanyaan, Deddy Affidick menyatakan, tuntutan warga yang meminta ganti rugi secara tunai kepada operator, jelas sulit dipenuhi.

Alasannya, pemberian ganti rugi secara tunai sulit direalisasikan, karena dalam masalah munculnya bau busuk, suara bising dan panas, semuanya masih belum jelas kebenarannya.

"Kalau ada ganti rugi tunai, baik siapa saja yang harus diberi ganti rugi dan penyebab pemberian ganti rugi secara tunai semuanya harus jelas," katanya menegaskan

Yang jelas, menurut Deddy Afidick, kelancaran produksi minyak Blok Cepu, semuanya bergantung berbagai pihak, termasuk pembeli produksi minyak Blok Cepu.

Deddy menjelaskan, dalam kondisi tertentu, untuk mencapai target produksi puncak sebesar 165 hektare, hanya dibutuhkan tanah seluas 100 hektare.

Kebutuhan tanah tersebut yang akan dimanfaatkan untuk membangun GOSP, untuk mengolah minyak mentah produksi puncak itu."Hanya sumur minyaknya berada di sejumlah lapangan," katanya.

Pada produksi puncak tersebut, ada 48 sumur yang dioperasionalkan, 36 sumur merupakan sumur produksi dan lainnya merupakan sumur injeksi gas dan air. "Kami hanya sebatas memproduksi minyak hingga ke pembeli," kata Deddy.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar